Sabtu, 08 Januari 2011

Gerakan “Satu Hari Tanpa Nasi”, Kebijakan Pemerintah atau Alibi?

Menonton diskusi di sebuah televisi swasta, tentang rencana pemerintah (dan katanya sudah dijalankan di beberapa daerah), tentang Gerakan Satu Hari Tanpa Nasi sebagai upaya untuk menguatkan ketahanan pangan nasional.

Agak kaget mendengarnya, campur geli juga, paling tidak sama gelinya dengan pertanyaan dari penelpon di acara tersebut.

Bangsa Indonesia memang pengkonsumsi nasi yang cukup besar, rata-rata mengkonsumi 130 kg beras per tahun; lebih dari dua kali lipat bangsa Amerika yang rata-rata per orang mengkonsumsi 60 kg per tahun.

Harga beras sebenarnya sedang merangkak naik; tapi tak diekspos seperti harga cabe. Produksi beras juga sedang menurun; tapi tak terlalu diekspos juga.

Nara sumber dari pemerintah, yang sudah pasti orang pinter, menjelaskan tentang ’salah kaprah’ karena bangsa bangsa Indonesia lebih memberi perhatian kepada beras, buktinya ketika ada swasembada, beras yang jadi perhatian utama; ketika ada raskin, beras juga yang jadi perhatian utama.

Argumen yang aneh.

Rakyat ini bukan sampel atau populasi, yang ditambah dan dikurangi dengan angka saja. Rakyat juga manusia yang memiliki budaya dan karakternya. Memang di Jepang, masyarakatnya bisa diarahkan untuk lebih banyak mengkonsumsi sayuran; akan tetapi, apakah cukup usaha pemerintah dalam melakukan sosialisasi dari kebijakan ini?

Rasa-rasanya ide pemerintah untuk Satu Hari Tanpa Nasi ini mengarah kemana ya? Apakah betul kebijakan? ataukah sekedar alibi dari tingkat produksi yang melemah? dan memerintah rakyat untuk mengatasinya?

Semoga saja, ada niat baik dibalik kebijakan Satu Hari Tanpa Nasi. Dan semoga pemerintah sadar untuk melakukan gerakan, sekali saja.. Satu Hari Tanpa Sensasi..





(Sudah nulis, langsung ke dapur, makan nasi…)